Desember 2015
no image
Daarussalam, merupakan nama salah satu surga yang sudah pasti dirindukan, diharapkan oleh orang-orang yang bertaqwa dan beriman...
tapi,,,,,
fakta yang ada.. kebanyakan santriwati tak merindukanny..,,
jika kita fahami kalimat tersebut dengan ‪#‎mafhumu‬ mukholafah .....
maka.....
terbukti,, ketika
qobul........

tak banyak yang senang hati ketika memasuki pondok,, lebih banyak yang bersedih hati,,,,
heran jadinya







Beginilah pondok mengajari kta berbagai hal tentang kehidupan,, yang jarang bisa kita dapatkan. Tanpa kelas 6/ as-sanah annihaiyah 2016 sadari beginlah kita diajari iklas dalam amal. Jika kalian bertanya, bagaimna kita belajar ikhlas, kalau hanya disuruh nyapu tiap sore? Atau kita disuruh piket kamar, piket dapur, piket gerbang, piket ini dan itu tanpa henti. Jawabnnya, telusurilah penggal demi penggal tulisan ini….
    

المعهد لا ينام أبدا

the fountain of wisdom
(inilah perjuangan kami)
Memang tak ada yang sempurna di dunia ini, tetapi tuntutan menjadi as-sayyidah kulli tetap disematkan kepada kami calon ummahat as-solikhat amin-amin Ya Rabbal Alamin
MENJADI PANITIA UJIAN
Pagi ini, kamarku seperti disambar kilat dan petir yang menyambar- ny ambar, entah ini mimpi di pagi buta ataukah memang nyata. Semua nggota kamarku berlarian bertebaran bak anak ayam yang kehilangan induknya. Semua bingung, saling bungkam hanya konsentrasi pada bagian masing-masing. Diam seribu bahasa, berjalan seribu langkah, berlari secepat kilat, atau berburu menjemput mangsa berderu seru sudah menjadi hal biasa nantinya.
Tak ayal, setiap pagi kami seperti diserbu peluru bom bardir, ditembakkan kesegala penjuru arah terngaung-ngaung berteriak kesini kemari, mencoba agar hari esok tak terulang lagi. Yah, Evaluasi yang tak kami nanti tapi tetap ada setiap hari. Kenapa harus dievaluasi, begitulah hal ini diajarkan kepada kami sang mujahidah-mujahidah pribumi agar tetap istiqomah dalam menitih setiap langkah kaki.

Pagi ini, kami memasuki hari pertama ujian syafahi?syafawi untuk pertama kali. Penjelasan yang sudah diberikan oleh ustadzah pengasuhan santri saatnya dipraktekkan. Begitu banyak rangkaian tata cara serta peraturn-peraturan dari A-Z yang sulit tuk dihafal. Al-hasil hari pertama berantakan sekali. Tak capek apa ya, dalam hatiku, ustadzah menulis semua kesalahan dan menyebutkan satu persatu di depan hadapan kelas 6 tanpa ada yang terlewatkan. Bagian-bagian semua merasakan bagaimana berdiri di depan dihadapan kawan seperjuangan. Dan begitulah seterusnya hingga berjalan selama 10 hari. Setiap pagi dan siang hari kita pasti dievaluasi, begitu banyak yang harus diperbaiki. Memang tak ada yang sempurna di dunia ini, tetapi tuntutan menjadi as-sayyidah kulli tetap disematkan kepada kami calon ummahat as-solikhat amin-amin Ya Rabbal Alamin. Tatkala fajar mulai menghilang dan pagi petang disambut oleh hiruk pikuk suara hafalan santriwati Darussalam kami mulai menjalankan akivitas kami. Tak ada yang bersantai ria apalagi merebahkan badannya diatas tempat tidur kasur tipis beralaskan selimut senyaman hari-hari di rumah sendiri.yah, memang karena ini di pondok tempat untuk berjihad, tapi setidaknya..........hal-hal kecil yang bisa menghambat kesemangatan mereka, buru2 mereka hapus. Mereka menyadari betul bahwa apa saja yang menimpa mereka merupakan salah satu cara agar mereka terbentuk dengan baik. Sekeras kita menendang bola, sekeras itupulalah pantulan yang akan kembali kepada kita. Fajar pagi itupun menghilang pelan-pelan ditelan hiruk pikuk berlarian anak-anak Darussalam mengejar harapan dipagi buta. Dapur serta kamar mandi yang terpenuhi oleh suara riang, bingung, cemas, takut serta nano-nano ketika akan menghadapi ujian lisan, tak terbayangkan sebelumnya bagi anak baru kelas 1 dan 1 Int satu orang dalam ruangan hening berhadapan dengan 4 sampai 5 orang penguji. 
no image
هكذا علمنا الحياة !!!!!!!!!!!!
Di suatu  pagi yang cerah………. Rina seorang santriwati kelas 6 KMI, termenung dalam keindahan pemandangan pelataran sawah, ditemani kicau burung yang beterbangan disekitar kolam ikan nan indah. “Tak kusangka kini aku telah menjadi siswi akhir KMI. Katanya dalam hati. Tetapi akhir-akhir ini ada sesuatu yang berkelibat dalam fikirannya, berpuluh-puluh pertanyaan yang muncul dan belum ia temukan jawabannya. Sudahkan aku menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh pondok, sudahkah aku seikhlas trimurti yang  rela dihina demi ideologi? Sudahkah aku sesederhana mereka yang rela mengorbankan segalanya demi kejayaan pondok ini? Sudahkah aku seperti mereka yang mengerti arti berdikari, yang tak hanya belajar dan berlatih mengurus segala kepentingan sendiri tetapi lebih memahami bahwa pondok tak pernah menyandarkan kehidupannya kepada bantuan atau belas kasihan orang lain? Sudahkah aku memahami segala nilai-nilai yang telah diajarkan dan diterapkan? Dan masihkah aku marah tak rela jika aku ditegur karena kesalahanku?
Waktu seakan berjalan begitu cepat mengantarkan ku pada titik ini, satu titik terakhir yang akan menjadi tinta pena yang menggoreskan segala perjalanan yang ku tempuh selama ini.
Pagi, siang, dan malam aku ditempa oleh hujaman kritikan, aku dituntut menjadi seorang yang ideal, dan pasti sitti-l-kull alangkah ruginya aku selama ini, tak  menyadari betapa penting dan bergunanya nilai kritik yang kusadari begitu membangun. Darussalam engkau gaung-gaungkan sebuah nilai keikhlasan, sebuah nilai keberkahan. Lalu, kemanakah aku selama ini? Enam tahun yang ku lalui, kini akupun menyadari, mungkin ikhlas itu permata. Berkilau karena tiada henti diasah dengan amal bermakna, walau kadang ada rasa tersiksa, mungkin ikhlas itu emas, murninya karena dilelehkan panas. Dibakar agar kerak dan noda terlepas. Hingga kilaunya jelas. Dan mungkin ikhlas itu mutiara. Terbentuk karena ada yang luka jauh dikedalaman samudra perlu keberanian untuk meraihnya.
Kini Rina menyadari betapa banyak hal yang belum ia pahami tentang nilai-nilai Gontori, ia bersyukur karena Allah telah membukakan matanya. Tak terpaku pada keadaan yang biasa-biasa saja apalagi hanya termakan oleh rutinitas belaka.
Disela-sela renungannya, datanglah teman karibnya yang membuyarkan segala konsentrasinya. “ih, sebel, bete, nyebelin, pokoknya majruh.” Kata Mariam sahabatnya itu. Kenapa sih, harus ana? Limadza ana? Belum berhenti berucap datanglah sahabat mereka yang lainnya sambil berucap “mabruk, ya Mariam” dari kejahuan. Rina pun semakin heran, apa yang terjadi sebenarnya, kenapa sahabat karibnya itu menyambar tak jelas? Bisiknya dalam hati.
Baru setelah beberapa menit, Maryam berusaha menenangkan diri, menghela nafas dalam-dalam sambil berucap istighfar.Astaghfirullahaladzim, katanya, kenapa ana bisa selabil ini, Rina yang sedari tadi disampingnya pun tambah penasaran dan langsung memburunya dengan beribu-ribu pertayaan.ada apa sih Mariam, limadza wa ma hasola biki?
Dia termenung beberapa saat, terpaku menatap hembusan angin yang menggoyangkan dedaunan disekitar kolam tempat mereka singgah. Aku tak tahu Rin, katanya. Aku binggung mengutarakan. Harus dari mana aku memulainya karena ini semua bercampur menjadi satu, nano-nano rasanya. Rasa sebel, bete, majruh, tapi dibalik itu ada rasa syukur, bahagia  juga gembira karena apa yang ku dapatkan sekarang merupakan angan-angan ku selama ini. Lalu apa yang membuatmu menjadi sebel, bete ataupun majruh jikalau hal tersebut adalah angan-angan mu? kata Rina.
Baru saja ustadzah riayah memanggilku, aku terpilih menjadi ketua Panitia Perpuangan Awal tahun kali ini. Oh,ya benarkah begitu? Rina pun kaget bukan main. Seorang Maryam yang ia kenal bisa terpilih menjadi ketua PPAT, wow, it’s amazing.
Pasti kau pun tak menyangka, Rin. Aku sendiri terheran-heran tatkala ustadah meyampaikan perihal tersebut. Tetapi, nasehat beliau cukup meyakinkanku bahwa aku mampu dan memang ada potensi dalam diriku yang aku sendiri tak tahu apalagi menyadari hal itu. “Hakadza alamana-l-ma’had, kanati hayatuna huna mali’ah bitajribah, beliau meyakinkan ku sekuat tenaga hingga aku bisa menerima semuanya. Menerima bahwa segala apa yang telah kita dapatkan selama ini begitu mahal harganya, tak akan kita jumpai di luar pondok ini. Lalu, kenapa kau begitu sebal, bete dan majruh? Itu dia, disamping rasa syukur ku, aku juga takut menghadapinya, apalagi ini adalah hal pertama yang aku alami berdiri menjadi sebuah ketua, ketua yang akan membawa awak kapal angkatan kita, aku takut jika teman-teman tak mendengarkan ku apalagi mau mengerjakan apa yang akan kita progamkan bersama. Maryam, segala sesuatu yang sudah menjadi keputusan guru-guru kita pastilah sudah dipertimbangkan. Tak akan mungkin beliau-beliau memilihmu menjadi seorang ketua panitia besar kalau tak beliau pikirkan jauh sebelumnya. Karena beliau lebih tau dari pada kita yang masih seumur jagung tinggal di pondok ini.
Iya Rin, memang benar. Apa yang kau sampaikan. Aku tak pernah berpikir sejauh itu. Aku selau berpikir negatif segala apa yang diputuskan oleh guru-guru kita. Jangankan berpikir latarbelakangnya, peraturan yang sudah jelas saja pun terkadang aku memberontak dan menolaknya.

Tapi, kini aku menyadari tiada sesuatu yang lebih berarti selain memaknai filosofis nilai-nilai gontori untuk mersakan pendidikan kehidupan haqiqi demi mencapai ridho Ilahi Rabbi. 
no image
4 PERI KECIL PENJAGA KEDAMAIAN
Tunggu, tunggu, tunggu aku Rita, Rina diujung jalan memanggil-manggil temannya yang sudah berada di depan gedung Yerussalem menunggu giliran untuk dipanggil bagian keamanan. Tak hanya Rita yang sudah disana tetapi juga ada Rima dan Ruma. Karena takut terlambat, rina memutuskan untuk berlari secepat kilat mengejar ketinggalan. Terlihat beberapa kelas 6 yang sudah mulai turun dari masjid bak malaikat-malaikat yang siap menjemput nyawa Rina seandainya dia tak berada disana bersama kawan seperjuangannya pagi itu. Jam berapa sekarang?, tanyanya pada Rita. Tenang teman, kamu gak telat kok. Ustttttttttttttttttttttttt, bisik Rina istakhdimi lughoh akhwat, hunaka al-ukh. Ups.... katanya. Syukron ala tanbih, beberapa detik kemudian datanglah bagian keamanan memanggil mereka satu persatu dan mengecek perlengkapan serta kesiapan mereka. Setelah dirasa cukup akhirnya merekapun dipersilahkan untuk menuju medan perjuangan. Sesampai tibanya mereka disana, beberapa alat makan serta kertas berserakan menyambutnya. Tak mau kalah sepertinya, tak hanya barang-barang serta keras, di medan jihad yang lain pun beberapa daun berguguran menyambut kedatangannya, memanggil-manggil seolah mereka ingin berteriak, ambilah aku, untuk menambah keberkahanmu teman. Kata si daun.
Beberapa jam kemudian, datanglah beberapa mobil yang akan memasuki gerbang, tak ubahnya seperti satpam, membuka ataupun menutup pintu gerbang tetapi mereka sangatlah berbeda. Jiwa keikhlasan yang akan tertanam di dalam jiwa peri-peri kecil ini. Tak ada bayaran ataupun belas kasian karena hal itulah yang akan mendidik mereka, dan kelak mereka akan tahu hakikat perjuangan dan pengorbanan. Bagaimana tidak, jikalau ditenagah-tengah terik matahari yang menyengat, disiang bolong, tatkala semua teman-temannya menikmati makan siang di kopda tercinta, mereka harus berjuang membuka dan menutup gerbang yang tak mudah sebenarnya untuk dilakukan, menarik kekiri dan kekanan. Belum lagi, jika baru saja menutup datang lagi dari seberang untuk dibukakan, dan begitulah seterusnya.
Mungkin, munculah pertanyaan, jikalau harus menutup dan membuka kenapa tidak kita buka saja setiap waktu untuk memudahkan? Itulah perbedaannya, antara pondok putra dan pondok putri. Kita harus berterimakasih kepada pondok ini, yang telah mengajarkan kita banyak hal akan pentingnya sebuah makna dibalik sesuatu hal. “The fountain of Wisdom” Tak hanya sebuah gerbang biasa karena ia begitu multifungsi. Tidak sembarangan orang yang bisa memasuki gerbang tersebut. “Just for a choosen people”. Mungkin terlalu menggebu-gebu tapi itulah kenyataannya. Gerbang tak bisa diibaratkan sebagai penjara suci. Sangatlah berbeda maknanya. Seperti yang dikatakan oleh bapak wakil pengasuh Gontor Putri kampus 1 Al-Ustadz H. Ahmad Suharto, M.Pd.I “kalian itu mahal harganya, terjaga, mahfudzoh” jadi tak bisa disamakan antara pondok yang menjaga udzmata-l-mar’ah dengan penjara suci.

Rina dan teman-temanya pun menyadari betapa hari itu sangat memberikan arti. Arti sebuah perjuangan dan pengorbanan dimana tatkala teman-temannya terlelap dalam mimpi, mereka hanya bisa duduk termenung melihat birunya awan, dan kilaunya terik matahari. Tapi itulah hakikat kehidupan, hanya orang-orang yang dapat mengambil hikmah yang dapat mensyukuri betapa nikmatnya merasakan kedinamisan kehidupan di bumi pertiwi ibu kandung kita Darussalam.

Buku vs gadget

Ia teronggok diatas rak diujung ruangan. Beribu-ribu lembar kertas, berjuta-juta ilmu pengetahuan. Oh... Aku lupa, bahkan tak terhitung ju...