هكذا علمنا
الحياة !!!!!!!!!!!!
Di suatu
pagi yang cerah………. Rina seorang santriwati kelas 6 KMI, termenung dalam
keindahan pemandangan pelataran sawah, ditemani kicau burung yang beterbangan
disekitar kolam ikan nan indah. “Tak kusangka kini aku telah menjadi siswi
akhir KMI. Katanya dalam hati. Tetapi akhir-akhir ini ada sesuatu yang
berkelibat dalam fikirannya, berpuluh-puluh pertanyaan yang muncul dan belum ia
temukan jawabannya. Sudahkan aku menyerap semua ilmu yang diajarkan oleh pondok,
sudahkah aku seikhlas trimurti yang rela
dihina demi ideologi? Sudahkah aku sesederhana mereka yang rela mengorbankan
segalanya demi kejayaan pondok ini? Sudahkah aku seperti mereka yang mengerti
arti berdikari, yang tak hanya belajar dan berlatih mengurus segala kepentingan
sendiri tetapi lebih memahami bahwa pondok tak pernah menyandarkan kehidupannya
kepada bantuan atau belas kasihan orang lain? Sudahkah aku memahami segala
nilai-nilai yang telah diajarkan dan diterapkan? Dan masihkah aku marah tak
rela jika aku ditegur karena kesalahanku?
Waktu seakan berjalan begitu cepat mengantarkan
ku pada titik ini, satu titik terakhir yang akan menjadi tinta pena yang
menggoreskan segala perjalanan yang ku tempuh selama ini.
Pagi, siang, dan malam aku ditempa oleh
hujaman kritikan, aku dituntut menjadi seorang yang ideal, dan pasti sitti-l-kull alangkah ruginya aku selama ini, tak menyadari betapa penting dan bergunanya nilai
kritik yang kusadari begitu membangun. Darussalam engkau gaung-gaungkan sebuah
nilai keikhlasan, sebuah nilai keberkahan. Lalu, kemanakah aku selama ini? Enam
tahun yang ku lalui, kini akupun menyadari, mungkin ikhlas itu permata.
Berkilau karena tiada henti diasah dengan amal bermakna, walau kadang ada rasa
tersiksa, mungkin ikhlas itu emas, murninya karena dilelehkan panas. Dibakar agar
kerak dan noda terlepas. Hingga kilaunya jelas. Dan mungkin ikhlas itu mutiara.
Terbentuk karena ada yang luka jauh dikedalaman samudra perlu keberanian untuk
meraihnya.
Kini Rina menyadari betapa banyak hal yang belum
ia pahami tentang nilai-nilai Gontori, ia
bersyukur karena Allah telah membukakan matanya. Tak terpaku pada keadaan yang
biasa-biasa saja apalagi hanya termakan oleh rutinitas belaka.
Disela-sela renungannya, datanglah teman karibnya yang membuyarkan
segala konsentrasinya. “ih, sebel, bete, nyebelin, pokoknya majruh.” Kata
Mariam sahabatnya itu. Kenapa sih, harus ana? Limadza ana? Belum berhenti
berucap datanglah sahabat mereka yang lainnya sambil berucap “mabruk, ya
Mariam” dari kejahuan. Rina pun semakin heran, apa yang terjadi sebenarnya,
kenapa sahabat karibnya itu menyambar tak jelas? Bisiknya dalam hati.
Baru setelah beberapa menit, Maryam berusaha menenangkan diri,
menghela nafas dalam-dalam sambil berucap istighfar.Astaghfirullahaladzim, katanya,
kenapa ana bisa selabil ini, Rina yang sedari tadi disampingnya pun tambah
penasaran dan langsung memburunya dengan beribu-ribu pertayaan.ada apa sih
Mariam, limadza wa ma hasola biki?
Dia termenung beberapa saat, terpaku menatap hembusan angin yang menggoyangkan
dedaunan disekitar kolam tempat mereka singgah. Aku tak tahu Rin, katanya. Aku
binggung mengutarakan. Harus dari mana aku memulainya karena ini semua
bercampur menjadi satu, nano-nano rasanya. Rasa sebel, bete, majruh, tapi
dibalik itu ada rasa syukur, bahagia juga gembira karena apa yang ku dapatkan
sekarang merupakan angan-angan ku selama ini. Lalu apa yang membuatmu menjadi
sebel, bete ataupun majruh jikalau hal tersebut adalah angan-angan mu? kata
Rina.
Baru saja ustadzah riayah memanggilku, aku terpilih menjadi
ketua Panitia Perpuangan Awal tahun kali ini. Oh,ya benarkah begitu? Rina pun
kaget bukan main. Seorang Maryam yang ia kenal bisa terpilih menjadi ketua
PPAT, wow, it’s amazing.
Pasti kau pun tak menyangka, Rin. Aku sendiri terheran-heran
tatkala ustadah meyampaikan perihal tersebut. Tetapi, nasehat beliau cukup
meyakinkanku bahwa aku mampu dan memang ada potensi dalam diriku yang aku
sendiri tak tahu apalagi menyadari hal itu. “Hakadza alamana-l-ma’had, kanati
hayatuna huna mali’ah bitajribah, beliau meyakinkan ku sekuat tenaga hingga
aku bisa menerima semuanya. Menerima bahwa segala apa yang telah kita dapatkan
selama ini begitu mahal harganya, tak akan kita jumpai di luar pondok ini.
Lalu, kenapa kau begitu sebal, bete dan majruh? Itu dia, disamping rasa syukur
ku, aku juga takut menghadapinya, apalagi ini adalah hal pertama yang aku alami
berdiri menjadi sebuah ketua, ketua yang akan membawa awak kapal angkatan kita,
aku takut jika teman-teman tak mendengarkan ku apalagi mau mengerjakan apa yang
akan kita progamkan bersama. Maryam, segala sesuatu yang sudah menjadi
keputusan guru-guru kita pastilah sudah dipertimbangkan. Tak akan mungkin
beliau-beliau memilihmu menjadi seorang ketua panitia besar kalau tak beliau
pikirkan jauh sebelumnya. Karena beliau lebih tau dari pada kita yang masih
seumur jagung tinggal di pondok ini.
Iya Rin, memang benar. Apa yang kau sampaikan. Aku tak pernah
berpikir sejauh itu. Aku selau berpikir negatif segala apa yang diputuskan oleh
guru-guru kita. Jangankan berpikir latarbelakangnya, peraturan yang sudah jelas
saja pun terkadang aku memberontak dan menolaknya.
Tapi, kini aku menyadari tiada sesuatu yang lebih berarti selain
memaknai filosofis nilai-nilai gontori untuk mersakan pendidikan kehidupan
haqiqi demi mencapai ridho Ilahi Rabbi.